Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Putu Supadma Rudana, baru-baru ini menyoroti ketidaksetaraan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diterima perguruan tinggi seni dan budaya dibandingkan dengan universitas besar lainnya di Indonesia. Hal ini diungkapkan dalam kunjungannya ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, di mana Putu menerima keluhan dari para civitas akademika yang merasa bahwa perguruan tinggi seni kerap diperlakukan bak “anak tiri” dalam hal pendanaan. Ketidaksetaraan alokasi APBN untuk perguruan tinggi seni dan budaya dibandingkan dengan universitas besar lainnya telah menjadi perhatian penting. Wakil Ketua BKSAP DPR RI, Putu Supadma Rudana, menekankan bahwa seni memiliki peran yang sangat strategis dalam diplomasi dan ekonomi kreatif, sehingga perguruan tinggi seni seharusnya mendapatkan perhatian dan alokasi dana yang lebih proporsional. Dengan langkah afirmatif dari pemerintah, diharapkan kampus-kampus seni dapat mengembangkan potensi penuh mereka, melestarikan budaya, dan mendukung pertumbuhan ekonomi kreatif yang bermanfaat bagi seluruh bangsa.
Ketidaksetaraan Alokasi APBN
Perguruan tinggi seni dan budaya sering kali menghadapi tantangan pendanaan yang lebih besar dibandingkan universitas-universitas besar lainnya. Alokasi APBN yang lebih kecil menghambat pengembangan infrastruktur, kualitas pendidikan, dan fasilitas di kampus-kampus seni. Putu Supadma Rudana menekankan bahwa seni dan budaya memainkan peran penting dalam pembangunan nasional, baik dari segi diplomasi maupun kontribusi terhadap ekonomi kreatif. Oleh karena itu, perguruan tinggi seni seharusnya mendapatkan perhatian yang setara dari pemerintah dalam hal alokasi anggaran.
Keluhan Civitas Akademika ISI Yogyakarta
Dalam kunjungan tersebut, civitas akademika ISI Yogyakarta menyampaikan berbagai kendala yang mereka hadapi akibat keterbatasan pendanaan. Kondisi ini tidak hanya mempengaruhi pengembangan program studi dan penelitian, tetapi juga berdampak pada kemampuan kampus untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas pendidikan seni yang diakui secara internasional. Mereka merasa bahwa status “anak tiri” ini menciptakan ketidakadilan dalam sistem pendidikan tinggi, terutama mengingat peran seni dalam melestarikan identitas budaya dan mendukung sektor pariwisata.
Peran Seni dalam Diplomasi dan Ekonomi Kreatif
Putu Supadma Rudana menegaskan bahwa seni dan budaya memiliki peran yang strategis dalam diplomasi internasional dan pengembangan ekonomi kreatif. Seni dapat menjadi alat diplomasi budaya yang kuat, mempromosikan citra positif Indonesia di kancah global. Selain itu, sektor ekonomi kreatif, yang banyak digerakkan oleh para lulusan perguruan tinggi seni, turut berkontribusi signifikan terhadap perekonomian negara. Dengan memberikan alokasi anggaran yang lebih layak kepada kampus-kampus seni, pemerintah dapat memperkuat peran seni dalam mendukung pembangunan nasional.
Harapan untuk Pemerataan Dana Pendidikan
Dalam pernyataannya, Putu mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan kebutuhan perguruan tinggi seni dan budaya. Ia menekankan pentingnya kebijakan afirmatif yang memastikan alokasi dana pendidikan tinggi yang lebih adil. Kebijakan ini diharapkan dapat membantu perguruan tinggi seni dalam mengembangkan fasilitas pendidikan, meningkatkan kualitas pengajaran, serta mendorong riset dan inovasi di bidang seni dan budaya.
Pendanaan yang memadai akan memberikan kampus-kampus seni kesempatan untuk berinovasi, mengembangkan program yang lebih komprehensif, dan memperkuat kapasitas lulusan untuk berkompetisi di pasar global. Hal ini pada akhirnya akan menguntungkan seluruh masyarakat Indonesia, mengingat seni dan budaya adalah bagian integral dari identitas bangsa yang harus dilestarikan dan dikembangkan.